Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia

Avatarmengembangkan lembaga penyiaran televisi yang memiliki ciri keberagaman pemilik (diversity of ownership) dan keberagaman isi siaran (diversity of content) sebagai wujud tercapainya kebijakan otonomi daerah dan regulasi kebebasan pers di Indonesia

Modal Mini, Perjuangan Maksi

Mengenakan kaus oblong putih, pria kurus itu mengisahkan suka-duka pe tani madu hutan di peda laman Kalimantan. Pada latar belakang tampak sebuah sungai tenang yang tengah digauli anak-anak kampung. "Kami menganggap hutan ini bisa menjamin dan menjanjikan kehidupan bagi masyarakat sekitar Danau Sentarum," kata M. Yusni, si petani madu hutan.

Itu adalah secuil adegan yang tersaji dalam video berdurasi 29 menit yang diproduksi Gekko Studio. Tayangan itu sudah diputar di beberapa stasiun televisi lokal, seperti Ruai TV di Pontianak. Tayangan feature tadi menggambarkan bagaimana petani harus masuk ke jantung hutan, mengintip ke atas, memanjat pohon tinggi sembari membawa asap guna mengusir lebah. Mereka memanen madu hutan.

Gekko dan Ruai TV adalah bagian dari Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia (Asteki). Asosiasi ini didirikan atas dasar kebutuhan dan kegelisahan yang sama dari televisi lokal. "Media sebenarnya milik siapa. Bagaimana partisipasi publik di dalamnya," kata Ridzki R. Sigit, Ketua Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia, menggambarkan kegelisahannya. Ide membentuk perkumpulan berawal dari satu pertemuan pada pertengahan 2008. Beberapa punggawa televisi lokal berkumpul, yaitu Muchlis L. Usman (Kendari TV), Stepanus Masiun (Ruai TV), dan Dikson Aritonang (Bengkulu TV).

Dari pertemuan itu, mereka kemudian bersepakat membentuk Asteki, yang dideklarasikan pada 12 Agustus 2008. Asosiasi ini merupakan mani festasi perlawanan terhadap keberadaan televisi nasional yang didominasi kepentingan modal. Asosiasi menolak penguasaan informasi yang dimiliki sekelompok konglomerasi pemilik media. "Kami menekankan keberagaman konten dan kepemilikan," kata Ridzki.

Kendari TV adalah salah satu contoh yang lahir dari perlawanan itu. Pendiri Kendari TV, Muchlis L. Usman, adalah pelopor televisi komunitas di Indonesia. Ia awalnya aktivis lingkungan yang resah akan maraknya perusakan lingkungan oleh korporasi di Sulawesi Tenggara. Laporan hasil penyelidikan bersama kawan-kawannya di Yayasan Pecinta Lingkungan-tentang kerusakan lingkungan yang disebabkan salah satu perusahaan-ditolak media mainstream. "Kami kemudian mendirikan radio Swara Alam pada 2000," kata Muchlis.

Para penggiat lingkungan itu menyadari pentingnya media sebagai alat kampanye mereka. Kemudian pada 2003 Kendari TV berdiri sebagai televisi komunitas pertama. Pendirian ini bisa terwujud karena diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. "Televisi ini dibangun dengan semangat idealisme semata," ujar Muchlis. Dengan modal cekak, televisi ini terseok-seok. Awalnya, siaran hanya bisa satu jam sehari, kemudian menjadi tiga jam. Namun sekarang mengudara 14 jam sehari.

Dari pengalaman itu, Muchlis juga membantu membidani lahirnya Bengkulu TV pada 2005, kemudian Ruai TV di Pontianak pada 2006. Setelah Asteki terbentuk pada 2008, perluasan jaringan televisi lokal semakin pesat. Beberapa stasiun baru berdiri, seperti Buton Raya TV di Baubau, Palu TV sejak Januari 2010, dan Tifa TV di Sorong, Papua, yang rencananya mulai siaran pada akhir tahun ini. Selain menggarap stasiun televisi, Asteki menggarap situs pemberitaan Kota Hujan dan rumah produksi Gekko Studio.

Televisi komunitas punya kemiripan dalam konten siaran, yakni lebih mengutamakan siaran lokal. Mereka menolak pola atau patron televisi nasional yang dinilai banyak mengumbar hal gosip, mistik, seks, dan kekerasan. Bengkulu TV memiliki 30 persen siaran lokal, 20 persen program lingkungan, 30 persen berita, dan sisanya hiburan. "Hiburannya juga yang punya unsur lokal," kata General Manager Bengkulu TV Darminto Al Hakim.

Di Kendari TV, salah satu program favorit adalah Wono Anggu (bahasa lokal yang berarti kampung kita). Prog ram yang ditayangkan setiap Rabu pukul 20.00 itu berisi diskusi antara perwakilan pemerintah dan warga. Syuting berlangsung di kampung yang memiliki masalah. Biasanya, setelah siar, permasalahan seperti jalan rusak, jembatan putus, sekolah roboh, langsung ditangani pemerintah daerah. "Kami memang menampung semua persoalan warga," kata Muchlis. "Untungnya, pemerintah cukup responsif."

Walau manfaat sudah dirasakan langsung oleh rakyat, stasiun-stasiun ini tak luput dari persoalan. Persoalan utama yang sama dihadapi stasiun-stasiun televisi mandiri itu, yakni modal yang minim. Bengkulu TV, misalnya. Kantornya hanya rumah tipe 45, yang tergolong mini untuk kantor, sekaligus studio dan stasiun televisi. Dalam rumah yang ada di Jalan Syamsul Bahrun, Bengkulu, itu hanya ada empat ruangan. Dibagi menjadi ruang siaran, studio, ruang staf, dan ruang editing berita yang merupakan bangunan tambahan dengan dinding kayu.

Pengusaha bukan tidak melirik celah bisnis di televisi komunitas ini. Bengkulu TV, kata Darminto Al Hakim, sudah diminati beberapa investor karena menjadi tontonan favorit warga Bengkulu dan sekitarnya. Namun pemiliknya, Yayasan Ulayat, enggan berbagi karena takut tak sesuai dengan misi awal. "Kami khawatir misi televisi ke rakyatan dan fokus ke dunia lingkungan akan hilang dan berganti menjadi berorientasi bisnis," kata Hakim.

Penolakan terhadap suntikan mo dal itu tentu punya konsekuensi. Bengkulu TV, kata Hakim, hanya bisa menggaji kecil karyawannya. "Bahkan teman-teman BTV harus sering telat gajian," ujarnya. Adapun di Kendari TV, setengah karyawannya mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain karena bayaran yang minim. Dari awalnya 106 orang karyawan, yang bertahan hanya sekitar 50 orang.

Minimnya modal membuat televisi lokal harus menekan biaya operasional. Palu TV, misalnya, hanya memiliki 5 buah kamera dan 3 buah komputer sebagai modal memproduksi tayangan. Stasiun ini juga hanya mengontrak satu unit ruko di pinggiran Palu, yang ruang rapatnya menggunakan enam buah kursi plastik. "Meski kembang-kem pis, harus tetap jalan. Ini adalah televisi perlawanan terhadap dominasi pemodal," kata Direktur Palu TV Agusalum Faizal, 40 tahun.

Keterbatasan itu justru membuat solidaritas dalam asosiasi menjadi lebih kental. Selain bekerja sama dalam bentuk pertukaran konten siaran dan pelatih an keterampilan, mereka berbagi alat produksi. Bengkulu TV, yang baru membeli transmitter baru, mengirimkan pemancar lamanya yang masih layak pakai untuk Palu TV. Dengan cara-cara itu, stasiun televisi ini bisa saling mendukung.

Bisnis di penyiaran komunitas ini bukan tanpa masa depan. Daya tahan dan daya juang televisi komunitas bisa menjadi modal berharga. Hal itulah yang dibuktikan Kendari TV. Sejak berdiri pada 17 April 2003, stasiun ini belum pernah menikmati untung. Namun pada 2010 stasiun komunitas pertama ini diprediksi akan membukukan untung. "Saya sudah sering bilang ke karyawan, jangan di Kendari TV kalau mau kaya. Di sini tempat berjuang," kata Muchlis.

Tito Sianipar, Phesi Ester (Bengkulu), M. Darlis (Palu)




Sumber: Tempo Online

0 Komentar:

Posting Komentar

 

Admin Control Panel

New Post | Settings | Change Layout | Edit HTML | Moderate Comments | Sign Out