KOMPAS.com - Setidaknya sudah tiga operator seluler besar di negeri ini yang telah membidik jaringan long term evolution. Sebuah jaringan berkapasitas besar dan berkecepatan tinggi yang menjadi cikal bakal jaringan radio generasi ke-4 atau 4G.
Selain Telkomsel, setidaknya XL Axiata dan Indosat juga telah melakukan persiapan untuk bergerak ke arah sana. Memang bukan revolutif, tetapi mereka dapat melakukannya secara evolutif dengan menaikkan kapasitas jaringan yang mereka miliki saat ini.
Evolusi ini menarik karena bukan hanya bisa dilakukan pada jaringan GSM, melainkan juga pada jaringan CDMA yang selama ini terkesan bagai dua kubu berbeda. Memang, untuk menuju ke long term evolution (LTE), bukan hanya infrastruktur yang harus disempurnakan, tetapi juga kesiapan terminal atau perangkat bergerak yang akan menggunakannya.
Meski tumpuan yang terlalu besar pada LTE bisa mengurangi kenyamanan pemakainya, harapan terhadap jaringan seluler dengan LTE menjadi sangat besar. Apalagi mengingat teknologi pita lebar pesaingnya, yaitu WiMAX, masih tertatih-tatih pelaksanaannya dan WiFi yang kurang berkembang.
Saat ini banyak aplikasi berat yang tidak bisa atau sulit dijalankan melalui jaringan seluler. Sebut saja seperti video HD streaming, game online, upload foto dan video dengan kecepatan tinggi juga akan mengurangi kepadatan di base transceiver station (BTS) dan melahirkan banyak solusi baru.
Langkah evolutif juga diambil Indosat dengan merealisasikan jaringan DC-HSPA+ terlebih dahulu sebelum melangkah ke LTE. Apalagi mengingat kecepatan jaringan DC-HSPA+ yang mencapai 42 Megabit per detik (Mbps) ini pun belum ada perangkat yang bisa memanfaatkan sepenuhnya.
”Melalui modernisasi jaringan ini, kami juga turut mendukung penciptaan green telco karena mampu mengurangi penggunaan daya listrik serta lebih ramah lingkungan. Hal ini tentunya juga akan menciptakan efisiensi bagi perusahaan,” papar Harry Sasongko, Presiden Direktur & CEO Indosat dalam acara peluncuran produk itu, pekan lalu.
Akses internet DC-HSPA+ 42 Mbps sejak seminggu lalu awalnya baru melayani kawasan Jakarta Pusat, implementasi ini diklaim sebagai yang pertama di Asia dan kedua di dunia. Jaringan ini merupakan penyempurnaan dari jaringan HSPA+ berkecepatan downlink hingga 21 Mbps dan kecepatan uplink 5,8 Mbps.
Kecepatan tinggi
Pihak Indosat melihat modernisasi jaringan ini memiliki banyak keuntungan, terutama efisiensi biaya operasional berupa penghematan pemakaian daya listrik sampai 50 persen dan efisiensi kebutuhan ruangan hingga 67 persen. Hal ini merupakan salah satu upaya mendukung penciptaan green telco di industri telekomunikasi, selain penggunaan energi alternatif pada BTS.
Kesepakatan dengan pihak Ericsson pada pekan lalu itu meliputi berbagai teknologi tercanggih, seperti perangkat radio dengan kemampuan multi standard radio yang memungkinkan satu kabinet radio base station untuk memancarkan sinyal multiteknologi (GSM, WCDMA, LTE). Langkah evolutif ini juga akan membuat mudah untuk kemudian merealisasikan layanan LTE.
”Untuk melangkah ke LTE, pertama harus meng-upgrade core network menjadi LTE ready (full IP network) mulai dari sisi hingga backbone. Kedua, upgrade access network di level base station yang saat ini sudah berbasis software (software defined radio) guna fleksibilitas upgrading evolusi teknologinya mulai dari GPRS, EDGE, 3G, HSDPA, HSUPA, HSPA, HSPA+ release 7, 8 ..hingga nanti ke LTE,” papar Teguh Prasetya, Group Head VAS Marketing Indosat.
Menyangkut alokasi frekuensi, Teguh menyarankan melakukan refarming (menggunakan kembali) alokasi yang sudah dimiliki operator sehingga bisa sangat membantu, misalnya pada pita frekuensi 900, 1800, ataupun 2100 MHz. ”Dengan refarming, risikonya memang harus melakukan penataan kembali existing player,” tutur Teguh.
Untuk dapat ideal, penggelaran jaringan 3.9G ini memang memerlukan pita frekuensi selebar 20 MHz. Namun, yang menarik, teknologi ini secara fleksibel bisa diiris hingga 1,4 MHz. Hal ini sangat berbeda dengan 3G ataupun CDMA2000 yang mensyaratkan penggunaan pita frekuensi 5 MHz.
Selain efisiensi spektrum frekuensi, juga latency (jeda yang muncul karena komponen elektronis) yang rendah menjadi daya tarik. Kecepatan downlink rata-rata 100 Mbps untuk mobile dan 1 Gbps untuk nomadic, uplink setidaknya 50 Mbps. Meski demikian, berdasarkan persyaratan IMT-Advanced, hal ini belum bisa dikategorikan sebagai 4G, barangkali penyempurnaannya nanti pada LTE Advanced.(AW Subarkah)
Sumber:
Kompas.com
Senin, 17 Mei 2010